Berdakwah dengan sedikit bercanda, amatlah menyenangkan. Tidak
bercanda sama sekali membuat seluruh urat muka kita tegang dan terkesan "
horror " . Berlebihan bercanda juga tidak baik. Setiap negeri
memiliki watak kulturalnya sendiri, apa yang menarik bagi mereka dan apa
yang tidak menarik bagi mereka. Apa yang biasa bagi mereka dan apa
yang tidak biasa bagi mereka. Dulu,
orang-orang Quraisy, wanitanya punya tradisi manut pada suami, tetapi
setelah mereka hijrah ke Madinah mereka sedikit tertular karakter wanita
Anshar yang cenderung lebih berani berbicara dan beradu-pendapat bila
suami berkata, karakter ini ada kaitannya dengan watak kultural kaum
Anshar yang agraris dan dialogis. perubahan ini sempat mengejutkan
beberapa sahabat dari kaum Muhajirin yang notabene Quraisy. Rupanya,
para shahabiyyat juga manusia biasa ya ,
justru karena kita tahu sisi kemanusiaanya jadi enak dan mudah
mencontohnya. Artinya, bahkan di dalam satu wilayah yang dekat saja ada
perbedaan kultural yang bila kita tidak arif menyikapinya maka
bisa-bisa kita gegar budaya dan bisa menjadi bahan perdebatan.
Watak kultural tropis dengan iklim yang tidak ekstrem, cenderung lebih
moderat dan dialogis, lembut, senang bercanda, dan tidak menyukai
perilaku keras. Perbedaan kultural itulah yang mengharuskan adanya
perbedaan dalam perlakuan dakwah. Contoh, " keras " dalam kultur tropis
tidak sama dengan " keras " dalam kultur sahara. Ketika M. Natsir
memberi kritik terbuka dengan bahasa yang lembut dan santun pada
pemerintah, beliau dikritik terlalu lembek. Lalu beliau menjawab, bagi
orang Minang memberikan kritik terbuka itu sudah sangat " keras ",
karena kadang kritik diberikan secara sindiran. Kadang sebagian pegiat
dakwah yang senang dengan gerakan dari luar, mereka berusaha pula
membawa tradisi luar yang sebetulnya bukan ajaran dari agama Islam itu
sendiri. Seperti kadang mereka tidak memahami kenapa kyai-kyai NU
cenderung tidak melakukan amar makruf nahi munkar seperti mereka yang
nampak " sangar ". Amar makruf nahi munkar ala kyai pesantren agak beda
dengan mereka, dalam mengkritik para kyai kadang sambil menyindir dalam
bentuk guyon, biasanya yang disindir juga sudah paham bahkan malah ikut
tertawa. Walaupun caranya canda seperti itu, tidak berarti kita lantas
menuduh mereka tidak militan, justru kadang cara ini lebih tepat dan
lebih diterima oleh orang yang dikritik, dia tidak sakit hati, tertawa,
tapi tahu maksudnya bahwa ada yang salah pada dirinya. Ini hanya
sekadar contoh, bahwa berdakwah sesuai dengan konteks kedisinian adalah
sesuatu yang amat penting selama tidak melanggar nilai dan ajaran agama
Islam itu sendiri. Sarungan lagi siap ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar