Minggu, 17 Februari 2013

INI INDONESIA, BUKAN ARAB

Berdakwah dengan sedikit bercanda, amatlah menyenangkan. Tidak bercanda sama sekali membuat seluruh urat muka kita tegang dan terkesan " horror " . Berlebihan bercanda juga tidak baik. Setiap negeri memiliki watak kulturalnya sendiri, apa yang menarik bagi mereka dan apa yang tidak menarik bagi mereka. Apa yang biasa bagi mereka dan apa yang tidak biasa bagi mereka. Dulu, orang-orang Quraisy, wanitanya punya tradisi manut pada suami, tetapi setelah mereka hijrah ke Madinah mereka sedikit tertular karakter wanita Anshar yang cenderung lebih berani berbicara dan beradu-pendapat bila suami berkata, karakter ini ada kaitannya dengan watak kultural kaum Anshar yang agraris dan dialogis. perubahan ini sempat mengejutkan beberapa sahabat dari kaum Muhajirin yang notabene Quraisy. Rupanya, para shahabiyyat juga manusia biasa ya , justru karena kita tahu sisi kemanusiaanya jadi enak dan mudah mencontohnya. Artinya, bahkan di dalam satu wilayah yang dekat saja ada perbedaan kultural yang bila kita tidak arif menyikapinya maka bisa-bisa kita gegar budaya dan bisa menjadi bahan perdebatan.

Watak kultural tropis dengan iklim yang tidak ekstrem, cenderung lebih moderat dan dialogis, lembut, senang bercanda, dan tidak menyukai perilaku keras. Perbedaan kultural itulah yang mengharuskan adanya perbedaan dalam perlakuan dakwah. Contoh, " keras " dalam kultur tropis tidak sama dengan " keras " dalam kultur sahara. Ketika M. Natsir memberi kritik terbuka dengan bahasa yang lembut dan santun pada pemerintah, beliau dikritik terlalu lembek. Lalu beliau menjawab, bagi orang Minang memberikan kritik terbuka itu sudah sangat " keras ", karena kadang kritik diberikan secara sindiran. Kadang sebagian pegiat dakwah yang senang dengan gerakan dari luar, mereka berusaha pula membawa tradisi luar yang sebetulnya bukan ajaran dari agama Islam itu sendiri. Seperti kadang mereka tidak memahami kenapa kyai-kyai NU cenderung tidak melakukan amar makruf nahi munkar seperti mereka yang nampak " sangar ". Amar makruf nahi munkar ala kyai pesantren agak beda dengan mereka, dalam mengkritik para kyai kadang sambil menyindir dalam bentuk guyon, biasanya yang disindir juga sudah paham bahkan malah ikut tertawa. Walaupun caranya canda seperti itu, tidak berarti kita lantas menuduh mereka tidak militan, justru kadang cara ini lebih tepat dan lebih diterima oleh orang yang dikritik, dia tidak sakit hati, tertawa, tapi tahu maksudnya bahwa ada yang salah pada dirinya. Ini hanya sekadar contoh, bahwa berdakwah sesuai dengan konteks kedisinian adalah sesuatu yang amat penting selama tidak melanggar nilai dan ajaran agama Islam itu sendiri. Sarungan lagi siap ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar